Balik ka Lembur, Kang Fery Radiasyah Dirikan Sekolah Budaya Sunda dan Bangun Leuit dengan Gerakan “Cikondang Nanjeur”

KAB BANDUNG Kompas1.id
Semangat melestarikan budaya Sunda kembali bergelora di Kampung Adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Sosok putra daerah, Kang Fery Radiasyah, kembali ke tanah leluhurnya setelah puluhan tahun untuk membangkitkan kembali kejayaan adat Cikondang melalui gerakan bertajuk “Cikondang Nanjeur”.
Sebagai bentuk nyata kepeduliannya, Kang Fery mendirikan Sekolah Budaya Sunda dan membangun leuit (lumbung padi adat) yang menjadi simbol kemakmuran dan kearifan lokal masyarakat Sunda. Kedua inisiatif ini menjadi pusat kegiatan pelestarian budaya sekaligus sarana pendidikan adat bagi generasi muda di Kampung Cikondang.
Dalam wawancara dengan Kabar Parahyangan, Kang Feri Radiasyah menuturkan bahwa langkah ini lahir dari rasa tanggung jawab terhadap warisan leluhur dan amanat orang tuanya untuk menjaga serta merawat kampung adat.

“Kampung Adat Cikondang merupakan situs yang sudah ditetapkan oleh kementerian, pemerintah provinsi, dan kabupaten. Ini adalah aset budaya berharga bagi kita semua. Sebagai keluarga dan keturunan ke-38 dari kuncen pertama, saya merasa terpanggil untuk kembali membangkitkan Cikondang, maka lahirlah gerakan Cikondang Nanjeur,” ujarnya.

banner 336x280

Kang Fery menjelaskan, dahulu Kampung Adat Cikondang memiliki wilayah adat yang luas, mencapai sekitar 300 hektare. Namun kini, setelah berbagai perubahan dan pembagian tanah sejak masa penjajahan Belanda pada 1946, wilayah adat yang tersisa hanya sekitar tiga hektare.
“Uyut kami dulu mengurus wilayah adat seluas 300 hektare sebelum ada pengukuran tanah. Sekarang yang tersisa hanya rumah adat dengan lahan sekitar tiga hektare. Ini amanat dari orang tua saya sebelum meninggal: saya harus beberes di Cikondang,” tutur Kang Fery.

Selama sepuluh bulan terakhir, ia fokus membangun dan menata kembali kawasan adat tersebut. Seluruh kegiatan dilakukan secara non-budgeter, tanpa bantuan dari pemerintah, melainkan dari dana pribadi dan dukungan sahabat yang peduli terhadap pelestarian budaya.
“Saya melihat semakin terkikisnya adab, istiadat, dan norma-norma yang tidak tertulis dalam adat. Karena itu, saya merasa terpanggil untuk mempertahankan rumah adat Cikondang dengan bantuan keluarga dan siapa pun yang mendukung,” tambahnya.
Selain rumah adat, Kang Feri juga membangun leuit modern yang berfungsi ganda — di bawahnya sebagai tempat berkumpul warga, sementara di atasnya untuk menyimpan hasil tani masyarakat. Ia menyebutnya sebagai modal budaya peradaban, yang diharapkan dapat menjadi daya tarik wisata budaya Kabupaten Bandung.
Lebih jauh, Sekolah Budaya Sunda yang didirikan akan menjadi pusat pembelajaran nilai-nilai budaya, agama, dan sosial masyarakat Sunda. Sekolah ini bersifat nonformal, dengan kegiatan belajar setiap hari Rabu dan Minggu.
“Sekolah Sunda ini mengajarkan budaya Islam, budaya malu, gotong royong, cara berpakaian, makanan, permainan tradisional, sampai ilmu falak dan cara bertani orang Sunda. Kurikulumnya dibantu oleh Prof. Heri dari Unpad,” jelasnya.

Peserta sekolah akan dibagi menjadi tiga kelompok — remaja, pemuda, dan orang tua — dengan aturan berpakaian khas Sunda: baju putih, celana hitam, dan iket untuk laki-laki; kebaya untuk perempuan, terinspirasi dari simbol Pajajaran.
Kang Fery berharap, dengan gerakan Cikondang Nanjeur, keberadaan Sekolah Budaya Sunda dan leuit adat dapat menjadi titik awal kebangkitan budaya Sunda yang lebih kuat dan terkelola dengan baik.
“Kalau nanti sudah tertata dengan pengelolaan yang baik, insyaallah banyak yang bisa dibantu. Kaulinan barudak pun nanti akan ada lagi di sini. Kabupaten Bandung akan punya wisata budaya yang sangat bagus,” pungkasnya.

Andri

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *