Bencana Alam dan bencana Demokrasi: Intimidasi Pers di Posko Penanganan Aceh

Aceh Singkli102 Dilihat

Aceh- Kompas1.id
Di tengah lumpur bencana dan jerit korban, negara seharusnya hadir dengan empati dan keterbukaan. Namun yang terjadi di Posko Terpadu Penanganan Bencana Alam Aceh, yang berlokasi di Lanud Sultan Iskandar Muda, justru menunjukkan wajah sebaliknya. Seorang jurnalis Kompas TV, Davi Abdullah, mengaku mengalami intimidasi dan pemaksaan penghapusan rekaman saat menjalankan tugas jurnalistik pada 11 Desember 2025.

Ironisnya, peristiwa ini tidak terjadi di ruang rahasia militer atau kawasan terbatas, melainkan di posko bencana—ruang publik yang seharusnya terbuka terhadap pengawasan masyarakat.

banner 336x280

Pertanyaannya pun terasa getir, Mengapa kamera jurnalis justru diangap lebih mengancam daripada bencana itu sendiri?

Menurut penuturan Davi, insiden bermula ketika ia merekam aktivitas sekelompok warga negara asing yang memasuki area posko dengan koper serta atribut tertentu. Situasi kemudian memanas saat sejumlah anggota TNI dan seorang individu yang mengaku berasal dari unsur intelijen mendekati lokasi. Permintaan awal untuk menghentikan perekaman berubah menjadi tekanan agar rekaman tersebut dihapus. Davi telah menjelaskan posisinya sebagai jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik. Namun penjelasan itu tidak digubris. Ponselnya disebut sempat diambil, dua file rekaman berdurasi sekitar empat menit dihapus secara paksa, bahkan disertai ancaman perusakan perangkat. Peristiwa ini bukan sekadar gesekan di lapangan, melainkan sinyal serius tentang relasi negara dengan pers, khususnya dalam situasi darurat.

Di titik inilah persoalan kebijakan dan mentalitas bertemu. Secara hukum, Indonesia mengakui kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melindungi kerja jurnalistik dan melarang segala bentuk penghalangan. Dewan Pers serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berulang kali menegaskan bahwa intimidasi, perampasan alat kerja, dan penghapusan paksa rekaman merupakan pelanggaran serius. Namun realitas di lapangan sering berkata lain. Terutama di wilayah bencana atau operasi keamanan, hukum kerap kalah oleh tafsir kekuasaan. Sarkasmenya sederhana: di atas kertas kita negara demokrasi, di lapangan kamera masih diperlakukan sebagai ancaman keamanan.

Kasus ini juga membuka pertanyaan besar tentang standar transparansi dalam penanganan bencana. Bencana bukan semata urusan logistik dan evakuasi, melainkan juga akuntabilitas. Publik berhak mengetahui siapa yang datang, bantuan apa yang masuk, serta bagaimana koordinasi dijalankan. Kehadiran jurnalis sejatinya membantu negara menunjukkan kinerjanya kepada publik.
Namun ketika kamera diminta dimatikan dan rekaman dihapus, yang muncul bukan rasa aman, melainkan kecurigaan.

Berbagai lembaga internasional, termasuk Bank Dunia, menekankan bahwa transparansi informasi merupakan kunci kepercayaan publik dalam manajemen bencana. Tanpa transparansi, negara justru tampak defensif—bahkan ketika tidak ada yang seharusnya disembunyikan.

Lebih jauh, intimidasi terhadap jurnalis di lokasi bencana berdampak langsung pada hak para korban. Tanpa liputan yang bebas, penderitaan mudah diredam, kesalahan mudah ditutup, dan evaluasi kebijakan sulit dilakukan.

Sejarah menunjukkan banyak perbaikan lahir dari liputan kritis media—mulai dari distribusi bantuan yang timpang hingga kelalaian birokrasi. Jika jurnalis dibungkam, yang hilang bukan hanya rekaman, melainkan peluang untuk memperbaiki sistem.

Memberangus kamera di posko bencana sama artinya dengan mematikan alarm kebijakan.

Solusinya sejatinya tidak rumit, tetapi menuntut keberanian institusional. Pertama, aparat di lapangan membutuhkan pedoman yang jelas serta pelatihan khusus terkait interaksi dengan pers, terutama dalam situasi darurat. Kedua, mekanisme pengaduan harus cepat dan berpihak pada korban intimidasi, bukan berlarut dalam klarifikasi tanpa ujung. Ketiga, pimpinan institusi militer maupun sipil harus secara tegas menyatakan bahwa jurnalis adalah mitra demokrasi, buka

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *