Sleman.DIY.kompas1.id
Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) kembali hadir dengan semangat yang semakin meluas. Setelah beberapa tahun terakhir penyelenggaraannya digelar bergilir di berbagai kabupaten, kini giliran Kabupaten Sleman menjadi tuan rumah FKY tingkat regional. Kegiatan ini berlangsung meriah di Lapangan Bendungan, Kalurahan Sidoagung, Kapanewon Godean, dan menjadi ajang bagi warga serta pelaku seni untuk menampilkan karya budaya sekaligus mempererat kebersamaan.
FKY sendiri merupakan agenda tahunan yang sudah menjadi denyut kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 1989, bertepatan dengan peresmian Monumen Yogya Kembali. Sejak awal, FKY dirancang sebagai upaya memperkuat identitas Yogyakarta sebagai pusat seni dan kebudayaan Indonesia. Berbagai kegiatan seperti teater, ketoprak, jathilan, musik tradisional, pameran seni rupa, hingga bazar kuliner menjadi daya tarik yang terus hidup hingga kini.
Memasuki tahun 2019, nama acara ini resmi berubah dari Festival Kesenian Yogyakarta menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta. Perubahan tersebut menandai perluasan cakupan FKY—tidak hanya fokus pada kesenian, tetapi juga mengangkat isu sosial-budaya yang berkembang di masyarakat. Jika dahulu FKY identik dengan Malioboro, kini pelaksanaannya merambah kabupaten-kabupaten di seluruh DIY. Tahun 2023, FKY diadakan di Kulon Progo dengan tema “Kembul Mumbul” tentang ketahanan pangan; tahun 2024 di Kabupaten Bantul dengan tema “Umpak Buka” yang menyoroti benda bersejarah sebagai arsip hidup masyarakat.
Tahun ini, FKY 2025 tingkat provinsi berlangsung di Gunungkidul dengan tema “Adoh Ratu Cedhak Watu,” yang memaknai adat istiadat sebagai daya hidup masyarakat. Sementara di tingkat kabupaten, FKY Regional juga digelar di Sleman sebagai bentuk pemerataan ruang ekspresi bagi seniman dan komunitas budaya.
Di Sleman, rangkaian acara FKY 2025 terbagi menjadi dua sesi. Pada siang hari, berbagai sanggar dan kelompok seni lokal menampilkan karya serta pertunjukan mereka, di antaranya Sanggar Tri Larasanti, Sanggar Sri Sabdono, Sanggar Seni Ngrancang Kencono, Sanggar Tari Sekar Jayashree, Sanggar Riyadi Pelantangan, Seniman Muda Pakem, Sanggar Banyu Bening, dan Sanggar Seni Amongsiwi.
Salah satu peserta yang turut memeriahkan acara adalah Sanggar Banyu Bening dari Tempursari, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Sanggar ini memiliki beberapa divisi, di antaranya Sekolah Air Hujan Banyu Bening yang fokus pada edukasi pemanfaatan air hujan, Komunitas Banyu yang bergerak di bidang konservasi, serta Sanggar Banyu Bening Edukasi Budaya yang mengelola kelas terpadu tari dan Bahasa Jawa. Kehadiran mereka memperkaya warna festival dengan menggabungkan unsur lingkungan, budaya, dan pendidikan dalam satu wadah kreatif.
Sementara pada malam hari, suasana semakin meriah dengan pertunjukan jathilan yang disusul penampilan musik dangdut dari OM Latanza, menutup malam puncak dengan riuh tepuk tangan penonton. Irama musik yang energik membuat masyarakat ikut bergoyang dan bernyanyi bersama, menikmati festival yang terasa akrab dan hangat di tengah udara malam Godean.
Acara ini turut dihadiri oleh berbagai pejabat dan tokoh penting. Bupati Sleman berhalangan hadir dan diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, Bapak Ishadi Sayid, S.H., serta Wakil Ketua Komisi C DPRD Sleman, Bapak Shodiqul Qiyar, S.IP. Turut hadir pula perwakilan dari berbagai instansi seperti Bappeda, BKAD, Dinas Pariwisata, Inspektorat, Kominfo, Satpol PP, Dinas Perhubungan, Dinas Kebudayaan DIY, hingga Paniradya Pati Kaistimewaan. Selain itu, hadir pula Kapolsek dan Danramil Godean, Panewu se-Kabupaten Sleman, serta jajaran pemerintahan lokal seperti Lurah Sidoagung, Dukuh Bendungan, dan Dukuh Senuko. Tak ketinggalan, perwakilan Dinas Kutai Kartanegara, pelaku UMKM, tokoh budaya, serta para budayawan, seniman, dan seniwati se-Kabupaten Sleman juga turut meramaikan acara.
Lebih dari sekadar perayaan seni, Festival Kebudayaan Yogyakarta 2025 di Sleman menjadi ruang pertemuan antara tradisi, inovasi, dan kebersamaan. Dari siang hingga malam, panggung budaya ini membuktikan bahwa kebudayaan bukan sekadar warisan, melainkan napas kehidupan yang terus mengalir dari generasi ke generasi.
Sumber ; Ainaya Nurfadila
@andisuka_2025











