Priscilia Pandeirot,SH,MH, Soroti Pelantikan DPW LPM Sulut di Sebut “CACAD HUKUM” Ada Resiko Pidana,Perdata,dan Kudeta Organisasi

Hukum545 Dilihat

KOMPAS 1.id
MANADO, Sulawesi Utara – Polemik pelantikan pengurus DPW Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Sulawesi Utara periode 2025–2030 terus menuai sorotan. Setelah 11 DPD LPM kabupaten/kota secara tegas menolak keabsahan pelantikan, kini giliran akademisi hukum angkat bicara.

Priscilia Pandeirot, SH., MH., dosen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), menilai pelantikan yang dilakukan oleh Sekjen DPP LPM berstatus demisioner itu berpotensi menimbulkan konsekuensi serius, baik secara pidana, perdata, maupun organisasi.

banner 336x280

“Jika pelantikan dilakukan dengan dokumen yang cacat hukum atau tidak sesuai hasil Musda, maka Sekjen dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata. Ini bukan sekadar pelanggaran etika organisasi, tetapi masuk wilayah hukum,” tegas Priscilia, Senin (29/9/2025).

Priscilia menjelaskan, dari sisi hukum pidana, tindakan tersebut bisa masuk ke Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dan penggunaan dokumen palsu. Jika Sekjen tahu bahwa SK yang digunakan tidak sah, namun tetap dipakai untuk melantik, maka hal itu termasuk perbuatan pidana.

Selain itu, Sekjen juga bisa dikenai Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana. “Jika ada manipulasi struktur, dan Sekjen mengetahuinya tetapi tetap melantik, maka ia dianggap turut serta atau membantu tindak pidana,” ujarnya.

Sementara dari sisi perdata, perbuatan tersebut bisa digugat melalui Pasal 1365 KUH Perdata sebagai perbuatan melawan hukum (PMH). Pihak yang dirugikan—dalam hal ini pengurus sah hasil Musda—dapat menuntut ganti rugi atas kerugian reputasi, biaya, dan dampak administratif.

Dari aspek organisasi, tindakan melantik kepengurusan yang tidak sah jelas melanggar AD/ART LPM. Konsekuensinya, Sekjen dapat dikenai sanksi internal, mulai dari peringatan keras, pemberhentian tidak hormat, hingga pencabutan hak keorganisasian.

“Lebih jauh, ini merusak legitimasi DPP LPM di mata daerah. Jika dualisme kepengurusan muncul, maka kepercayaan publik, termasuk mitra pemerintah daerah, akan hilang. Organisasi bisa lumpuh karena konflik internal,” kata Priscilia.

Selain risiko hukum dan organisasi, Priscilia juga menyoroti risiko pribadi yang bisa menimpa Sekjen DPP. Ia menegaskan bahwa Sekjen bisa diperiksa sebagai saksi, bahkan ditetapkan sebagai tersangka jika terbukti terlibat langsung dalam manipulasi.

“Reputasi pribadi pun bisa hancur. Terlibat dalam pelantikan ilegal akan menempelkan stigma buruk, apalagi di organisasi skala nasional,” tambahnya.

Lebih jauh, Priscilia menilai fenomena ini dapat dikategorikan sebagai “kudeta organisasi”. Meski bukan istilah hukum pidana formal, kudeta organisasi merujuk pada perebutan kekuasaan secara ilegal di luar mekanisme sah.

Ia merinci, kudeta organisasi bisa masuk ke beberapa ranah pidana:

Pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP) jika hasil Musda diubah atau SK palsu diterbitkan.

Turut serta tindak pidana (Pasal 55 KUHP) jika Sekjen tetap melantik walau tahu tidak sah.

Penyalahgunaan wewenang (Pasal 421 KUHP) jika pelantikan ilegal melibatkan penyalahgunaan jabatan.

Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) jika merugikan pengurus sah.

Fitnah atau pencemaran nama baik (Pasal 310–311 KUHP/UU ITE) jika kudeta disertai serangan reputasi melalui media.

Menurut Priscilia, pelantikan DPW LPM Sulut yang dilakukan di luar mekanisme sah berpotensi menjerumuskan organisasi ke jurang konflik hukum dan dualisme kepengurusan.

“Sekjen seharusnya menjadi penjaga aturan, bukan justru aktor yang mencederai mekanisme organisasi. Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka LPM bukan hanya kehilangan marwahnya, tetapi juga bisa kehilangan legitimasi di mata pemerintah dan masyarakat, “pungkasnya.

(Noval).

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *