KOMPAS1.id
MANADO, Sulawesi Utara – Gelaran pelantikan Pengurus DPD Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Sulawesi Utara periode 2025-2030 di Ruang CJ Rantung, Kantor Gubernur Sulut, Senin (29/9/2025), bukanlah pesta demokrasi, melainkan puncak dari sederetan manipulasi dan pelanggaran prosedur. Hal ini ditegaskan oleh perwakilan dari 11 DPD LPM Kabupaten/Kota se-Sulut yang secara terang-terangan menolak dan membantah keabsahan pelantikan tersebut.
Aksi penolakan ditunjukkan dengan mendatangi langsung kantor Gubernur oleh pengurus DPD LPM dari Tomohon, Bitung, Manado, Talaud, Minahasa, Kotamobagu, dan Boltim. Sementara itu, DPD LPM Sangihe, Mitra, Bolmut, dan Sitaro meski tidak hadir secara fisik, menyatakan sikap yang sama MENOLAK.
Akar penolakan ini berlandaskan pada setidaknya enam pelanggaran substantif:
1. Pelantikan dilakukan tanpa sepengetahuan dan tanpa mengundang 11 DPD LPM se-Sulut, yang merupakan stakeholder utama.
2. Pelantikan dipimpin oleh Plt. Sekjen DPP LPM RI yang statusnya telah demisioner sejak 16 Agustus 2025, sehingga tidak memiliki kewenangan hukum untuk melantik.
3. Sekretaris LPM Sulut yang dilantik bukanlah hasil Musyawarah Daerah (Musda) 28 Juni 2025, dan bahkan yang bersangkutan tidak hadir dalam Musda tersebut.
4. Struktur pengurus yang dilantik bukanlah hasil rumusan Tim Formatur yang sah.
5. Pelantikan secara sengaja menyalahi AD/ART organisasi.
6. Ketua terpilih, Emi Maturbongs, diduga melanggar nota kesepahaman (MoU) yang disepakati saat Musda.
Yang paling menyita perhatian adalah posisi Sekretaris yang dilantik, yang notabene adalah seorang Staf Khusus (Staffsus) Gubernur Sulut. Fakta ini dinilai telah mencoreng kredibilitasnya sebagai perpanjangan tangan Gubernur yang seharusnya menjadi contoh teladan, bukan justru menjadi aktor yang membelah organisasi dengan berkompromi melakukan “manipulasi” demi sebuah jabatan.
Pertanyaan pedas dilayangkan para sesepuh dan pengurus. Sebelum pelantikan, telah dilakukan pertemuan di ruang Staffsus untuk menyampaikan adanya pelanggaran AD/ART dan manipulasi struktur. Alih-alih menjadi penengah dan mendorong rekonsiliasi, justru terlibat langsung dalam pelaksanaan pelantikan yang cacat hukum tersebut.
Robby Supit, Ketua DPD LPM Bitung yang juga anggota Tim Formatur, dengan tegas menyatakan, *”Apa yang terjadi hari ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap proses demokrasi organisasi. Struktur yang dilantik adalah struktur fiktif yang tidak kami ketahui dan tidak kami setujui sebagai Tim Formatur. Kami tidak akan mengakui kepengurusan hasil rekayasa dan pelantikan inkonstitusional ini.”*
Sementara itu, Eny Maria, yang merupakan Sekretaris terpilih berdasarkan hasil sah Musda 28 Juni, menyampaikan kekecewaannya, “Saya hadir dan dipilih secara sah dalam Musda. Sangat disayangkan ada pihak yang tidak menghormati proses demokrasi organisasi dan dengan semena-mena melantik orang yang bahkan tidak hadir dalam Musda. Ini bukti bahwa perebutan kekuasaan lebih diutamakan daripada pemberdayaan masyarakat.”
Nelson Sasauw, Ketua Dewan Pembina DPW LPM Sulut, memberikan pernyataan keras, “Kami dari Dewan Pembina mengecam tindakan separatis yang dilakukan oleh Sekjen demisioner dan didukung oleh oknum tertentu di internal LPM dan pemerintah daerah. Pelantikan ini tidak sah dan kami tidak akan pernah mengakuinya. Ini adalah bentuk pemeretasan kekuasaan (power grab) yang melukai hati nurani seluruh kader LPM di Sulut. Kami meminta Gubernur untuk melihat fakta ini dengan jernih dan tidak mengakui kepengurusan bajakan ini.”
Dengan demikian, pelantikan yang digembar-gemborkan dan ditandai dengan MoU bersama PKK dan WKRI tersebut, dianggap hanya sebagai upaya untuk mengesahkan sebuah kepengurusan ilegal. MoU yang diteken di atas fondasi yang rapuh dipertanyakan kekuatan hukum dan integritasnya. Kredibilitas LPM Sulut sebagai mitra pemberdayaan masyarakat kini tercoreng oleh ulah segelintir orang yang haus jabatan.
(Noval). Gubernur